SUMBER
HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI (MUTTAFAQ) :
IJMA’ DAN QIYAS
Erlina
(15110079)
Muhammad
Bagus Azmi (15110190)
Abstrak
The source of the law in Islam
agreed by the scholars is called muttafaq. ijma 'and qiyas are two of the four
sources to be discussed. This discussion aims to understand the definition of
ijma 'and qiyas, how hujjah, criteria or all kinds. The method we use in this
case is through a secondary source, ie a reference book. Ijma 'is the agreement
of the Mujtahids after the Apostle to a law of syara' for an event (incident),
while qiyas is to establish the law of an incident or that there is no base of nash by comparing it
to an other
event that is determined by law based on nash
because there are equations' illat .
Keywords: Source,
Muttafaq, Ijma’, Qiyas
PENDAHULUAN
Pada masa Rasulullah Salallahu
‘alaihi Wasalam, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan
pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah. Dan apa bila ada
suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal
tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah karena saat itu.
Akan tetapi, setelah beliau, Rasulullah wafat, para sahabat agak kesulitan dalam memutuskan
permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat
dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin
kompleks, sehingga munculah Ijma’ dan Qiyas.
PEMBAHASAN
A.
Ijma’
1. Pengertian
Ijma
Dari segi kebahasan, kata ijma‘ mengandung dua arti.[1]
Pertama berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu,
atau memutuskan berbuat sesuatu (al-‘azm ‘ala al-syay’). Pengertian Ijma‘ dalam
dalam konteks ini dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus (10): 71:
فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ
…karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). (QS. Yunus [10]: 71)
Kedua, ijma‘ dengan arti “Kesepakatan Terhadap Sesuatu”.
Dalam arti ini kata ijma‘ dapat dilihat penggunaannya dalam Alquran pada surat
Yusuf (12): 15:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ
الْجُبِّ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ
لَا يَشْعُرُونَ
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar
sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami
wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka
perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi" Adapun pengertian ijma‘ dalam istilah teknis hukum atau istilah
syar‘i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu dapat dilihat dalam beberapa
rumusan atau, antara lain definisi al-Ghazzali yang merumuskan ijma‘ sebagai:[2]
“ Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.”
penjelasan al-Ghazzali yang dimaksud
dengan umat Muhammad di sini ialah setiap mujtahid yang diterima fatwanya,
yakni ahl al-hill wa al-‘aqd (para ahli yang berkompeten dalam mengurusi umat).
Jadi di sini tidak termasuk anak-anak, orang gila dan orang pikun. Walaupun
mereka juga termasuk umat tetapi tidak dimaksudkan oleh Rasulullah dalam
sabdanya: “Umatku tidak pernah bersepakat untuk membuat kesesatan.” Tokoh lain
yang pendapatnya dikutip di sini adalah al-Amidi (juga pengikut mazhab
al-Syafi‘i), ia merumuskan ijma‘ sebagai beriku:
definition is the one mentioned by the Shafi’i jurisprudent, Sayf
al-Din al-Amidi (1233/631), “Consensus (Ijma’) is an expression of the
agreement of the generality of those qualified to loosen and bind from the
community of Muhammad in a particular age upon the ruling of a particular
occurrence.”[3]
Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian ahl al-sunnah adalah
apa yang dikemukakan oleh The popular 20th century Hanafi legal theorist, ‘Abd
Al-Wahhab Khallaf (1956/1375), says in his definition of consensus, “It is
the agreement of all of the mujtahids of the Muslims in a particular age coming
after the death of the Messenger upon a scriptural ruling regarding a
particular occurrence.”[4]
Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma‘ itu adalah kesepakatan, dan
yang sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa
tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena
selama Nabi masih hidup, Alquran lah yang akan menjawab semua persoalan hukum
karena ayat Alquran masih turun dan Nabi sebagai tempat untuk bertanya tentang
hukum syarak, maka tidak diperlukan adanya ijma‘.
2.
Unsur-unsur ijma’.[5]
a.
Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat islam
(ulama).
Apabila
ada ulama yang menolak kesepakatan tersebut, maka kesepakatan dari yang lainya
tidak dapat disebut ijma’. Berdasarkan unsur yang pertama ini dapat pula
diketahui, ulama yang melakukan kesepakatan tersebut harus dari seluruh ulama
yang ada, tanpa pembatasan wilayah atau negara, dan/atau golongan tertentu.
Dengan kata lain, dari seluruh dunia. Karena itu, jika ada ulama dari golongan
atau negara tertentu yang tidak sepakat, maka ijma’ tidak terwujud
b.
Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas.
Berdasarkan
unsur ini, jika ada ulama mujtahid yang diam-diam berbeda pendapat dengan para
ulama mujtahid lainya, ijma’ juga tidak terwujud.
c.
Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
Berdasarkan
unsur ini, maka yang melakukan kesepakatan tersebut bukanlah sembarang ulama,
tetapi adalah mereka yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid, meskipun pada
tingkatan yang terendah sekalipun.
d.
Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya rasulullah Saw.
Agaknya
unsur ini ditegaskan dalam definisi, karena pada masa hidupnya rasulullah Saw,
pemegang otoritas keagamaan adalah beliau sendiri, sehingga tidak diperlukan
adanya ijma’; dalam bidang keagamaan, semua persoalan dirujukan kepada beliau,
baik melalui wahyu matluw (wahyu yang dibacakan; al quran) maupun wahyu ghair
matluw ( wahyu yang tidak dibacakan;sunnah Nabi Saw).
e.
Yang disepakati itu adalah hukum syara’ mengenai suatu
masalah/peristiwa hukum tertentu.
3.
Kedudukan ijma’ sebagai hujjah
Menurut jumhur ulama, dalil ijma’ sebagai hujjah yang pasti,
didasarkan atas alasan –alasan sebagai berikut.
a.
Alquran surah an-Nisa’(4):115;
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Jumhur
ulama berpendapat, ancaman siksa yang terdapat pada ayat diatas, ditunjukan
kepada orang yang menentang rasulullah Saw. Dan tidak mengikuti jalan orang-
orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang mukmin
adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib. Dengan
demikian, mengikuti ijma’ adalah wajib.
b.
Firman Allah Swt pada surah al- Baqarah (2):143
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ ٌ
Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Kata
al-wasth (pertengahan) pada ayat diatas mengandung arti adil dan tepilih.
Sedangkan kesepakatan yang lahir dari umat yang adil dan terpilih adalah
al-haqq (kebenaran). Karena ijma’ lahir dari umat islam yang adil dan terpilih
tersebut, maka sesuatu yang dihasilkan ijma’ adalah kebenaran.
c.
Firman allah dalam surah Ali ‘imran (3):110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Pujian
yang diberikan allah kepada umat islam pada ayat diatas menunjukan bahwa mereka
adalah orang-orang yang adil dan pilihan karena itu, ijma’ yang mereka hasilkan
merupakan hujjah.
Adapun
landasan ijma’ yang berasal dari hadis, antara lain :
a.
Sabda rasulullah yang berbunyi:[6]
لا تجمع أمتي علي خطإ
Umatku tidak
akan berkumpul dan sepakat untuk melakukan kesesatan.
4.
Macam- macam Ijma’
Ijma ditinjau dari petunjuk hukumnya terbagi menjadi dua jenis
yaitu Ijma Qath’i dan Ijma Zhanni.
a.
Ijma Qath’i
adalah
Ijma yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini secara pasti, seperti
ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Ijma’ jenis ini tidak
ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya sebagai hujjah, dan dikafirkan
orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak
mengetahuinya. Inilah Ijma Sharih.
b.
Ijma Zhanni
adalah
Ijma yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu’ &
istiqro’). Contohnya adalah Ijma Sukuti.
Ijma ditinjau
dari sisi penetapannya dibagi menjadi dua yaitu Ijma Sharih dan Ijma Sukuti:
a.
Ijma Sharih
adalah
Ijma yang disepakati oleh seluruh mujtahid dalam suatu perkara dengan
pernyataan yang jelas. Mereka menyatakan pendapatnya dengan jelas yang kemudian
menjadi kesepakatan/ Ijma dalam masalah tersebut.
b.
Ijma Sukuti
adalah
sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya dan diketahui oleh mujthahid yang
lain. Namun mereka tidak menunjukkan persetujuan maupun pengingkarannya. Dalam
kitab Mausu’ah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah dijelaskan Ijma Sukuti terjadi jika
sebagian Mujtahid berfatwa dalam masalah Ijtihadiyah, atau memberi putusan, hal
tersebut masyhur dikalangan mujtahid pada masanya, dan juga mengetahuinya
seluruh mujtahid selainnya serta tidak menyelisihinya, keadaan ini terus
berlangsung hingga waktu berlalu.[7]
Ijma sukuti masih diperselisihkan oleh ulama tentang kehujjahannya
dikarenakan diam para mujtahid belum tentu menunjukkan perseutjuannya. Jumhur
ulama mengatakan bahwa Ijma sukuti bukan hujjah. Ini juga pendapat Malikiyyah
dan Syafiiyyah. Namun ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa Ijma Sukuti adalah
hujjah jika kepada para mujtahid telah disodorkan fakta-fakta yang dimaksud,
sudah ditunjukkan pendapat mujtahid lain akan fakta tersebut dan sudah memenuhi
waktu yang cukup untuk membahas dan menyatakan pendapatnya namun dia diam.
Tidak ditemukan alasan diamnya baik karena takut, lemah atau mendapat ejekan.
Menurut Hanabilah Ijma Sukuti adalah hujjah qath’i.
Syeikh Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa Ijma Sukuti bukan
hujjah karena diamnya seorang mujtahid dikarenakan adanya keraguan atau faktor
lain yang mempengaruhi.[8]
Mujtahid yang diam berarti dianggap tidak mempunyai pendapat. Tidak bisa
dikatakan setuju atau menolak.
B.
Qiyas
1. Definisi dan Pengertian Qiyas
Secara bahasa Arab berarti
menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dan si B,
kerena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama,
wajah yang sama dan sebagainya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh Qiyas
berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat
antara kedua kejadian atau peristiwa itu.[9]
Di antara contoh Qiyas adalah
setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram. Hal ini di Qiyaskan dengan hukum
khamar (arak), yaitu haram. Persamaan kedua jenis minuman ini adalah karena
kesamaan sifatnya yang memabukkan. Contoh lain adalah harta anak-anak wajib
dikeluarkan zakatnya. Hal ini disamakan dengan harta orang dewasa, yaitu bahwa
kedua jenis harta tersebut dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu juga dapat
memberikan pertolongan kepada fakir miskin. Jumhur ulama kaum muslimin sepakat
bahwa Qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik
dengan nash ataupun ijma’ yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi
dengan persamaan illat maka berlakulah hukum Qiyas dan selanjutnya menjadi
hukum syar’i.[10]
Jadi, qiyas adalah cara
menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada dasar nashnya dengan
membandingkan atau menyamakan kepada suatu perkara serupa yang mempunyai nash
yang telah ditetapkan dengan kesamaan illat.
2. Dasar Hukum dan Hujjah Qiyas
Adapun mengenai dasar-dasar
hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah ialah berdasar Al-quran, Al-hadist, perbuatan
sahabat, dan akal.
1)
Al-Qur’an
Allah memberi petunjuk tentang qiyas di Al-Qur’an terdapat di beberapa ayat,
seperti di surat Al-Hasyr ayat 2, An-Nisa’ ayat 90,[11]
Artinya: Maka
ambillah kejadian itu sebagai pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan. (QS. Al-Hasr : 2)
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatilah Rasul, dan pemimpin
kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Yang demikian itu akan lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(An-Nisâ’: 59).
Dari keterangan ayat di atas maka
dapat diambil pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin supaya
menetapkan segala sesuatu berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Apabila
tidak ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits maka hendaklah mengikuti pendapat Ulil
Amri.
Jika tidak ada pendapat Ulil Amri, maka diperbolehkan untuk menetapkan
hukum dengan mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu dengan
menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang semisal yang terdapat dalam
Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Juga perumpamaan di Surat Yasin ayat 78-79.
78. Dan ia
membuat perumpamaan bagi kami, dan ia lupa kepada kejadiannya : ia berkata
“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah
:“Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya yang pertama kali, dan Dia
Maha mengetahui tentang segala makhluk”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuannya menghidupkan
tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuannya
menciptakan tulang belulang pertama kali.[12]
2)
Hadits
Peristiwa Muadz bin Jabal
ketika akan diutus oleh Rasul menjadi qashi di Yaman.[13] Di
antara hadist yang dikemukan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan
qiyas adalah :
Artinya : “Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila
dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab : Akan aku tetapkan
berdasar Al-quran. Jika engkau tidak memperolehnya dalam Al-quran? Mu’adz
berkata : Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad
dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata) :
Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata : Segala puji bagi Allah yang
telahmemberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat
sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Ahmad Abu Daud dan
At-Tirmidzi).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad
dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-quran
dan hadist yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dilakukan
dalam berijtihad itu, salah satunya yaitu menggunakan qiyas.
3)
Perbuatan Shahabat
Para sahabat Nabi Saw banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu
suatu peristiwa yang tidak ada nashnya.Seperti alasan pengangkatan khalifah Abu
Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah
disbanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nab Saw
mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika
Rasulullah Saw ridha Abu Bakar mengganti beliau imam shalat, tentu beliau lebih
ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.[14]
4)
Akal
Tujuan Allah Swt menetapkan syara’ bagi kemaslahatan manusia.Setiap
peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash da nada pula yang tidak
diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum
dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa
yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah
ditetapkan berdasarkan nash, karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan
memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari
peristiwa itu ditetapkan dengan cara Qiyas.[15]
3. Rukun Qiyas
Adapun rukun
qiyas adalah sebagai berikut :
1) Ashl
Ashl
(pokok). yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat
meng-qiyas-kan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum
teolog adalah suatu nash syura' yang menunjukkan ketentuan hukum. dengan kata
lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih
(yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul alaih (tempat membandingkan).
atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).[16]
Ashl
yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukum
berdasarkan nash. Ashl disebut juga maqis ‘illaih (yang menjadi ukuran), atau
musyabbabih (tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan).
2) Far’u
Far
'u (cabang.) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Far'u itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. la disebut juga maqis (yang
dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan)[17]
Far’u
berarti cabang, yaitu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasar fara’ disebut juga maqis (yang menjadi
ukuran), atau musyabbabih (tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat
membandingkan), seperti pengharaman wisky dengan mengqiyaskan dengan khamar.
3) Hukum Ashl
Hukum Ashl, yaitu hukum syara’, yang ditetapkan oleh
suatu nash[18]
Hukum ashl adalah hukum dari asal yang telah ditetapkan
berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya
ada persamaan ‘illatnya. Seperti keharaman
minuman khamar. Adapun
hukum yang ditetapkan far’u pada dasarnya merupakan hasil dari qiyas dan
karenanya tidak termasuk hukum.
4) ‘Illat
Illat,
yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanva sifat itulah, ashl
mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang, sehingga
hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.[19]
‘Illat adalah suatu sifat
yang ada pada ashl dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat yang
ada pada fara’ maka persamaan sifat yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum
fara’ sama dengan hukum ashl.[20]
4. Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi 5
(lima)[21],
yaitu:
a)
Qiyas Aula
Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan
yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat
menyamakannya (mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua
dengan mengatakan "ah" kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah:
"Janganlah
kamu mengatakan "ah" kepada kedua orang tua...(QS. Al-Isra': 23).
Mengatakan "ah" kepada ibu bapak dilarang karena illat-nya ialah
menyakitkan hati. Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang,
sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan
yang terdapat pada mulhaq (yang disamakan) lebih berat daripada yang terdapat
pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua orang tua lebih keras daripada larangan
mengatakan "ah" kepadanya.
b)
Qiyas Musawi
Qiyas Musawi yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan
illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum yang terdapat
pada mulhaq bih. Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum
yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusakkan harta.
Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana tercantum dalam firman
Allah:
"Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api di dalam perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."(QS. An-Nisa':
10).
Maka merusak harta anak yatim adalah haram. Keharamannya karena diqiyaskan
pada memakan harta anak yatim.
c)
Qiyas Dalalah
Qiyas dalalah, yakni suatu qiyas di mana illat yang ada pada mulhaq
menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan
harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya
mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang
mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam masalah ini, Imam Abu Hanifah
berpendapat lain, bahwa harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib dizakati
lantaran diqiyaskan dengan haji. Sebab, menunaikan ibadah haji itu tidak wajib
bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).
d)
Qiyas Syibhi
Qiyas Syibhi, yakni suatu qiyas di mana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada
dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak
persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh
seseorang. Budak yang dirusakkan itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka
karena memang keduanya adalah sama-sama keturunan Adam dan dapat juga
diqiyaskan dengan harga benda, karena keduanya sama-sama dimiliki. Namun, budak
tersebut diqiyaskan dengan harta benda, yaitu sama-sama dapat diperjualbelikan,
dihadiahkan, diwariskan, dan sebagainya. Karena sahaya tersebut diqiyaskan
dengan harta benda, maka hamba yang dirusakkan itu dapat diganti dengan
nilainya.
KESIMPULAN
1.
Ijma‘ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini
adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah
wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih
hidup, Alquran lah yang akan menjawab semua persoalan hukum karena ayat Alquran
masih turun dan Nabi sebagai tempat untuk bertanya tentang hukum syarak, maka
tidak diperlukan adanya ijma’.
2.
Qiyas adalah cara menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada dasar
nashnya dengan membandingkan atau menyamakan kepada suatu perkara serupa yang
mempunyai nash yang telah ditetapkan dengan kesamaan illat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Saebani. 2008. Ilmu Ushul Fiqh.
(Bandung: Pustaka Setia)
Insan Mulia. 2008 Fiqih. (Surakarta: Putra Nugraha)
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. 2003. Pengantar Hukum Islam.
(Bandung: PT. Pustaka Rizki
Putra)
Amir Sarifudin. 2008 Ushul
Fiqh. (Jakarta: Media Grafika)
Totok Jumantoro. 2001. Kamus Ushul Fiqh.
(Jakarta: PT. Hamzah)
Chairul Uman. 1998.
Ushul Fiqh 1. (Bandung: Pustaka
Setia).
Rachmat Syafe’i.
1998. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung:
Pustaka Setia).
Abdul Hayy Abdul
‘Al. Pengantar Ushul Fiqih. Diterjemahkan
oleh: Muhammad Misbah. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
Amir
Syarifuddin, 2009, Ushul Fiqh,(Jakarta:
Kencana)
Al-Ghazzali, 2008,
Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah)
Al-Amidi, Sayf
al-Din ‘Ali. Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiya)
Khallaf, ‘Abd
Al-Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. (Kuwait: Dar al-
Qalam)
Abd rahman dahlan,2010, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah )
Mausu’ah
Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Ijma. Maktabah Syamilah
[1] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Edisi I, Cet. 4 (Jakarta: Kencana, 2009), 131-132.
[2] Al-Ghazzali, Al-Mustasfa
min ‘Ilm al-Usul, Cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2008), 219.
[3] Al-Amidi, Sayf
al-Din ‘Ali. Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiya, 1/168
[4] Khallaf, ‘Abd
Al-Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al- Qalam, 1406/1986, p. 45
[5] Abd rahman
dahlan,Ushul Fiqih, Edisi I, Cet. 1 (Jakarta: Amzah, 2010), 146-147.
[9] Ahmad Saebani,
Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), h. 172.
[10] Insan Mulia,
Fiqih, (Surakarta : Putra Nugraha, 2008), h.25.
[11] Chairul Uman, Ushul Fiqh 1, (Bandung: Pustaka Setia,
1998), h. 102
[12] Totok
Jumantoro, Kamus Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Hamzah, 2001), h. 272.
[13] Chairul Uman, Ushul Fiqh 1, (Bandung: Pustaka Setia,
1998), h. 102
[14] Tengku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Bandung : PT. Pustaka
Rizki Putra, 2003), h. 206.
[15] Amir
Sarifudin, Ushul Fiqh ,(Jakarta : Media Grafika, 2008), h. 192.
[16] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 87
[17] Ibid., h. 88
[18] Loc.cit
[19] Loc.cit
[20] Op.Cit.,
Totok Jumantoro, h. 277
[21] Op. Cit., Ushul Fiqh 1 h. 100