Senin, 26 Maret 2018

SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI (MUTTAFAQ) : IJMA’ DAN QIYAS

           
        

SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI (MUTTAFAQ) :
 IJMA’ DAN QIYAS

Erlina (15110079)
Muhammad Bagus Azmi (15110190)

Abstrak
The source of the law in Islam agreed by the scholars is called muttafaq. ijma 'and qiyas are two of the four sources to be discussed. This discussion aims to understand the definition of ijma 'and qiyas, how hujjah, criteria or all kinds. The method we use in this case is through a secondary source, ie a reference book. Ijma 'is the agreement of the Mujtahids after the Apostle to a law of syara' for an event (incident), while qiyas is to establish the law of an incident or that there is no base of nash by comparing it to an other event that is determined by law based on nash because there are equations' illat .
Keywords: Source, Muttafaq, Ijma’, Qiyas

PENDAHULUAN
Pada masa Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasalam, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah karena saat itu. Akan tetapi, setelah beliau, Rasulullah wafat, para sahabat agak  kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, sehingga munculah Ijma’ dan Qiyas.
PEMBAHASAN
A.    Ijma’
1.      Pengertian Ijma
Dari segi kebahasan, kata ijma‘ mengandung dua arti.[1] Pertama berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu, atau memutuskan berbuat sesuatu (al-‘azm ‘ala al-syay’). Pengertian Ijma‘ dalam dalam konteks ini dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus (10): 71:
فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ
…karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). (QS. Yunus [10]: 71)
Kedua, ijma‘ dengan arti “Kesepakatan Terhadap Sesuatu”. Dalam arti ini kata ijma‘ dapat dilihat penggunaannya dalam Alquran pada surat Yusuf (12): 15:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi" Adapun pengertian ijma‘ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar‘i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau, antara lain definisi al-Ghazzali yang merumuskan ijma‘ sebagai:[2]
“ Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.”
penjelasan al-Ghazzali yang dimaksud dengan umat Muhammad di sini ialah setiap mujtahid yang diterima fatwanya, yakni ahl al-hill wa al-‘aqd (para ahli yang berkompeten dalam mengurusi umat). Jadi di sini tidak termasuk anak-anak, orang gila dan orang pikun. Walaupun mereka juga termasuk umat tetapi tidak dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Umatku tidak pernah bersepakat untuk membuat kesesatan.” Tokoh lain yang pendapatnya dikutip di sini adalah al-Amidi (juga pengikut mazhab al-Syafi‘i), ia merumuskan ijmasebagai beriku:
definition is the one mentioned by the Shafi’i jurisprudent, Sayf al-Din al-Amidi (1233/631), “Consensus (Ijma’) is an expression of the agreement of the generality of those qualified to loosen and bind from the community of Muhammad in a particular age upon the ruling of a particular occurrence.”[3]

Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian ahl al-sunnah adalah apa yang dikemukakan oleh The popular 20th century Hanafi legal theorist, ‘Abd Al-Wahhab Khallaf (1956/1375), says in his definition of consensus, “It is the agreement of all of the mujtahids of the Muslims in a particular age coming after the death of the Messenger upon a scriptural ruling regarding a particular occurrence.”[4]
Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma‘ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, Alquran lah yang akan menjawab semua persoalan hukum karena ayat Alquran masih turun dan Nabi sebagai tempat untuk bertanya tentang hukum syarak, maka tidak diperlukan adanya ijma‘.
2.      Unsur-unsur ijma’.[5]
a.       Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat islam (ulama).
Apabila ada ulama yang menolak kesepakatan tersebut, maka kesepakatan dari yang lainya tidak dapat disebut ijma’. Berdasarkan unsur yang pertama ini dapat pula diketahui, ulama yang melakukan kesepakatan tersebut harus dari seluruh ulama yang ada, tanpa pembatasan wilayah atau negara, dan/atau golongan tertentu. Dengan kata lain, dari seluruh dunia. Karena itu, jika ada ulama dari golongan atau negara tertentu yang tidak sepakat, maka ijma’ tidak terwujud
b.      Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas.
Berdasarkan unsur ini, jika ada ulama mujtahid yang diam-diam berbeda pendapat dengan para ulama mujtahid lainya, ijma’ juga tidak terwujud.
c.       Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
Berdasarkan unsur ini, maka yang melakukan kesepakatan tersebut bukanlah sembarang ulama, tetapi adalah mereka yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid, meskipun pada tingkatan yang terendah sekalipun.
d.      Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya rasulullah Saw.
Agaknya unsur ini ditegaskan dalam definisi, karena pada masa hidupnya rasulullah Saw, pemegang otoritas keagamaan adalah beliau sendiri, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’; dalam bidang keagamaan, semua persoalan dirujukan kepada beliau, baik melalui wahyu matluw (wahyu yang dibacakan; al quran) maupun wahyu ghair matluw ( wahyu yang tidak dibacakan;sunnah Nabi Saw).
e.       Yang disepakati itu adalah hukum syara’ mengenai suatu masalah/peristiwa hukum tertentu.
3.      Kedudukan ijma’ sebagai hujjah
Menurut jumhur ulama, dalil ijma’ sebagai hujjah yang pasti, didasarkan atas alasan –alasan sebagai berikut.
a.       Alquran surah an-Nisa’(4):115;

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Jumhur ulama berpendapat, ancaman siksa yang terdapat pada ayat diatas, ditunjukan kepada orang yang menentang rasulullah Saw. Dan tidak mengikuti jalan orang- orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib. Dengan demikian, mengikuti ijma’ adalah wajib.
b.      Firman Allah Swt pada surah al- Baqarah (2):143
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ ٌ
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Kata al-wasth (pertengahan) pada ayat diatas mengandung arti adil dan tepilih. Sedangkan kesepakatan yang lahir dari umat yang adil dan terpilih adalah al-haqq (kebenaran). Karena ijma’ lahir dari umat islam yang adil dan terpilih tersebut, maka sesuatu yang dihasilkan ijma’ adalah kebenaran.
c.       Firman allah dalam surah Ali ‘imran (3):110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Pujian yang diberikan allah kepada umat islam pada ayat diatas menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang adil dan pilihan karena itu, ijma’ yang mereka hasilkan merupakan hujjah.
Adapun landasan ijma’ yang berasal dari hadis, antara lain :
a.       Sabda rasulullah yang berbunyi:[6]
لا تجمع أمتي علي خطإ
Umatku tidak akan berkumpul dan sepakat untuk melakukan kesesatan.
4.      Macam- macam Ijma’
Ijma ditinjau dari petunjuk hukumnya terbagi menjadi dua jenis yaitu Ijma Qath’i dan Ijma Zhanni.
a.       Ijma Qath’i
adalah Ijma yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini secara pasti, seperti ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Ijma’ jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya. Inilah Ijma Sharih.
b.      Ijma Zhanni
adalah Ijma yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu’ & istiqro’). Contohnya adalah Ijma Sukuti.
Ijma ditinjau dari sisi penetapannya dibagi menjadi dua yaitu Ijma Sharih dan Ijma   Sukuti:
a.       Ijma Sharih
adalah Ijma yang disepakati oleh seluruh mujtahid dalam suatu perkara dengan pernyataan yang jelas. Mereka menyatakan pendapatnya dengan jelas yang kemudian menjadi kesepakatan/ Ijma dalam masalah tersebut.
b.      Ijma Sukuti
adalah sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya dan diketahui oleh mujthahid yang lain. Namun mereka tidak menunjukkan persetujuan maupun pengingkarannya. Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah dijelaskan Ijma Sukuti terjadi jika sebagian Mujtahid berfatwa dalam masalah Ijtihadiyah, atau memberi putusan, hal tersebut masyhur dikalangan mujtahid pada masanya, dan juga mengetahuinya seluruh mujtahid selainnya serta tidak menyelisihinya, keadaan ini terus berlangsung hingga waktu berlalu.[7]
Ijma sukuti masih diperselisihkan oleh ulama tentang kehujjahannya dikarenakan diam para mujtahid belum tentu menunjukkan perseutjuannya. Jumhur ulama mengatakan bahwa Ijma sukuti bukan hujjah. Ini juga pendapat Malikiyyah dan Syafiiyyah. Namun ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa Ijma Sukuti adalah hujjah jika kepada para mujtahid telah disodorkan fakta-fakta yang dimaksud, sudah ditunjukkan pendapat mujtahid lain akan fakta tersebut dan sudah memenuhi waktu yang cukup untuk membahas dan menyatakan pendapatnya namun dia diam. Tidak ditemukan alasan diamnya baik karena takut, lemah atau mendapat ejekan. Menurut Hanabilah Ijma Sukuti adalah hujjah qath’i.
Syeikh Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa Ijma Sukuti bukan hujjah karena diamnya seorang mujtahid dikarenakan adanya keraguan atau faktor lain yang mempengaruhi.[8] Mujtahid yang diam berarti dianggap tidak mempunyai pendapat. Tidak bisa dikatakan setuju atau menolak.
B.     Qiyas
1.      Definisi dan Pengertian Qiyas
Secara bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dan si B, kerena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh Qiyas berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.[9]
Di antara contoh Qiyas adalah setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram. Hal ini di Qiyaskan dengan hukum khamar (arak), yaitu haram. Persamaan kedua jenis minuman ini adalah karena kesamaan sifatnya yang memabukkan. Contoh lain adalah harta anak-anak wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini disamakan dengan harta orang dewasa, yaitu bahwa kedua jenis harta tersebut dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu juga dapat memberikan pertolongan kepada fakir miskin. Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum Qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[10]
Jadi, qiyas adalah cara menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada dasar nashnya dengan membandingkan atau menyamakan kepada suatu perkara serupa yang mempunyai nash yang telah ditetapkan dengan kesamaan illat.
2.      Dasar Hukum dan Hujjah Qiyas
Adapun mengenai dasar-dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah ialah  berdasar Al-quran, Al-hadist, perbuatan sahabat, dan akal.
1)      Al-Qur’an
Allah memberi petunjuk tentang qiyas di Al-Qur’an terdapat di beberapa ayat, seperti di surat Al-Hasyr ayat 2, An-Nisa’ ayat 90,[11]
Artinya: Maka ambillah kejadian itu sebagai pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS. Al-Hasr : 2)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatilah Rasul, dan pemimpin kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu akan lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisâ’: 59).
            Dari keterangan ayat di atas maka dapat diambil pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin supaya menetapkan segala sesuatu berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Apabila tidak ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits maka hendaklah mengikuti pendapat Ulil Amri.
Jika tidak ada pendapat Ulil Amri, maka diperbolehkan untuk menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang semisal yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Juga perumpamaan di Surat Yasin ayat 78-79.
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami, dan ia lupa kepada kejadiannya : ia berkata “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah :“Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya yang pertama kali, dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuannya menciptakan tulang belulang pertama kali.[12]
2)      Hadits
Peristiwa Muadz bin Jabal ketika akan diutus oleh Rasul menjadi qashi di Yaman.[13] Di antara hadist yang dikemukan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah :
Artinya : “Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab : Akan aku tetapkan berdasar Al-quran. Jika engkau tidak memperolehnya dalam Al-quran? Mu’adz berkata : Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperolehnya dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata) : Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata : Segala puji bagi Allah yang telahmemberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Ahmad Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-quran dan hadist yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dilakukan dalam berijtihad itu, salah satunya yaitu menggunakan qiyas.
3)      Perbuatan Shahabat
Para sahabat Nabi Saw banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu suatu peristiwa yang tidak ada nashnya.Seperti alasan pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah disbanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nab Saw mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah Saw ridha Abu Bakar mengganti beliau imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.[14]
4)      Akal
Tujuan Allah Swt menetapkan syara’ bagi kemaslahatan manusia.Setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash da nada pula yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasarkan nash, karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara Qiyas.[15]
3.      Rukun Qiyas
Adapun rukun qiyas adalah sebagai berikut :
1)      Ashl
Ashl (pokok). yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syura' yang menunjukkan ketentuan hukum. dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih (yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul alaih (tempat membandingkan). atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).[16]
Ashl yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukum berdasarkan nash. Ashl disebut juga maqis ‘illaih (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih (tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan).
2)      Far’u
Far 'u (cabang.) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Far'u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. la disebut juga maqis (yang dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan)[17]
Far’u berarti cabang, yaitu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar fara’ disebut juga maqis (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih (tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan), seperti pengharaman wisky dengan mengqiyaskan dengan khamar.
3)      Hukum Ashl
Hukum Ashl, yaitu hukum syara’, yang ditetapkan oleh suatu nash[18]
Hukum ashl adalah hukum dari asal yang telah ditetapkan berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya. Seperti keharaman minuman khamar. Adapun hukum yang ditetapkan far’u pada dasarnya merupakan hasil dari qiyas dan karenanya tidak termasuk hukum.
4)      ‘Illat
Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanva sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.[19]
Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat yang ada pada fara’ maka persamaan sifat yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashl.[20]
4.      Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi 5 (lima)[21], yaitu:
a)      Qiyas Aula
Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan "ah" kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah:

"Janganlah kamu mengatakan "ah" kepada kedua orang tua...(QS. Al-Isra': 23).

Mengatakan "ah" kepada ibu bapak dilarang karena illat-nya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq (yang disamakan) lebih berat daripada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua  orang tua lebih keras daripada larangan mengatakan "ah" kepadanya.
b)      Qiyas Musawi
Qiyas Musawi yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusakkan harta. Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim  secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api di dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."(QS. An-Nisa': 10).

Maka merusak harta anak yatim adalah haram. Keharamannya karena diqiyaskan pada memakan harta anak yatim.
c)      Qiyas Dalalah
Qiyas dalalah, yakni suatu qiyas di mana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam masalah ini, Imam Abu Hanifah berpendapat lain, bahwa harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib dizakati lantaran diqiyaskan dengan haji. Sebab, menunaikan ibadah haji itu tidak wajib bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).
d)     Qiyas Syibhi
Qiyas Syibhi, yakni suatu qiyas di mana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang. Budak yang dirusakkan itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka karena memang keduanya adalah sama-sama keturunan Adam dan dapat juga diqiyaskan dengan harga benda, karena keduanya sama-sama dimiliki. Namun, budak tersebut diqiyaskan dengan harta benda, yaitu sama-sama dapat diperjualbelikan, dihadiahkan, diwariskan, dan sebagainya. Karena sahaya tersebut diqiyaskan dengan harta benda, maka hamba yang dirusakkan itu dapat diganti dengan nilainya.
 KESIMPULAN
1.      Ijma‘ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, Alquran lah yang akan menjawab semua persoalan hukum karena ayat Alquran masih turun dan Nabi sebagai tempat untuk bertanya tentang hukum syarak, maka tidak diperlukan adanya ijma’.
2.      Qiyas adalah cara menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada dasar nashnya dengan membandingkan atau menyamakan kepada suatu perkara serupa yang mempunyai nash yang telah ditetapkan dengan kesamaan illat.
 DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Saebani. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia)
Insan Mulia. 2008 Fiqih.  (Surakarta: Putra Nugraha)
 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. 2003. Pengantar Hukum Islam. (Bandung: PT. Pustaka Rizki Putra)
Amir Sarifudin. 2008  Ushul Fiqh. (Jakarta: Media Grafika)
Totok Jumantoro. 2001. Kamus Ushul Fiqh. (Jakarta: PT. Hamzah)
Chairul Uman. 1998. Ushul Fiqh 1. (Bandung: Pustaka Setia).
Rachmat Syafe’i. 1998. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia).
Abdul Hayy Abdul ‘Al. Pengantar Ushul Fiqih. Diterjemahkan oleh: Muhammad Misbah. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
Amir Syarifuddin, 2009, Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana)
Al-Ghazzali, 2008, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah)
Al-Amidi, Sayf al-Din ‘Ali. Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiya)
Khallaf, ‘Abd Al-Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. (Kuwait: Dar al- Qalam)
Abd rahman dahlan,2010, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah )
Mausu’ah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Ijma. Maktabah Syamilah



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Edisi I, Cet. 4 (Jakarta: Kencana, 2009), 131-132.
[2] Al-Ghazzali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), 219.
[3] Al-Amidi, Sayf al-Din ‘Ali. Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiya, 1/168
[4] Khallaf, ‘Abd Al-Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al- Qalam, 1406/1986, p. 45
[5] Abd rahman dahlan,Ushul Fiqih, Edisi I, Cet. 1 (Jakarta: Amzah, 2010), 146-147.
[6]
[7] Mausu’ah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Ijma. Maktabah Syamilah
[8] Ilmu Ushul Fiqh. Bab Ijma. Syeikh Abdul Wahab Khallaf. Maktabah Syamilah
[9] Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), h. 172.
[10] Insan Mulia, Fiqih, (Surakarta : Putra Nugraha, 2008), h.25.
[11] Chairul Uman, Ushul Fiqh 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 102
[12] Totok Jumantoro, Kamus Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Hamzah, 2001), h. 272.
[13] Chairul Uman, Ushul Fiqh 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 102
[14] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Bandung : PT. Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 206.
[15] Amir Sarifudin, Ushul Fiqh ,(Jakarta : Media Grafika, 2008), h. 192.
[16] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 87
[17] Ibid., h. 88
[18] Loc.cit
[19] Loc.cit
[20] Op.Cit., Totok  Jumantoro, h. 277
[21] Op. Cit., Ushul Fiqh 1 h. 100